Cerpen sahabatku saying,sahabat sejatiku
Sebenarnya aku tidak pernah percaya sahabat sejati itu ada, sama sekali tidak percaya!! Bagiku semua itu bulshit belaka. Sahabat yang selalu ada untukku, berbagi suka dan duka bersama, dan menjunjung tinggi semangat persaudaraan, bagiku tidak pernah ada di dunia ini. Satu pun tidak akan pernah ada. Semua akan hilang dan meninggalkanku!!!
Tapi, suatu ketika ada sebuah rahasia besar yang mengubah pedomanku mengenai sahabat sejati. Ada yang terlupakan dari semua ini. Terselip begitu saja dalam diriku. Aku mengacuhkan hal berharga itu. Aku memang masih memahami konsep sahabat sejati hanya omong kosong belaka, kecuali, dengan satu kemungkinan, jika kau membuka hatimu untuk menerima sesuatu yang riskan itu, sahabat sejati itu mungkin bukanlah sebuah omong kosong belaka.
Aku berdiri mematung di kantin. Bergeming seraya fokus melihat dengan pandangan yang sangat jijik!. Sosis merah dilumuri saus yang seolah–olah menggiurkan, bakso yang rasanya begitu kenyal, keripik yang rasanya begitu gurih, mie yang terlihat sangat lembut sekali, dan otak–otak yang tak ubahnya seperti makanan–makanan yang rusak!!. Aku begitu phobia melihat makanan–makanan itu. Ya, Aku baru melihatnya saja sudah seperti itu, apalagi memakannya, dijamin aku akan mual-mual beberapa bulan.
Semua makanan rusak itu begitu ku benci, karena gara–gara makanan itu sahabatku, dita, meninggal dunia!! dita, sahabat terbaikku (dan kupikir juga sahabat sejatiku), dia terkena kanker otak yang disebabkan oleh makanan yang banyak mengandung boraks, formalin, dan entah bahan kimia apa yang terkandung di dalamnya. Dokter mendiagnosis di dalam tubuhnya sudah ada 6 gram boraks yang mengendap sejak bertahun–tahun (itu belum termasuk zat kimia lainnya seperti, pewarna dan pengawet).
Sel kanker yang ada di tubuh dita berkembang dengan beg itu cepatnya. Daya tahan tubuhnya juga tak kuat menahan serangan demi serangan yang diluncurkan oleh racun–racun itu. Ditambah lagi dita tidak suka makan sayuran dan buah–buahan. Ironis memang, tapi itulah kenyataannya. Dan, semenjak saat itu aku begitu membenci makanan itu.
desi, icha teman sekelasku, kelas 7.8 tepatnya, berlari kearahku. Rambut panjangnya yang digerai bergoyang–goyang di terpa angin. Menurutku ia cukup manis dan cantik. "Jajan, yuk. Aku punya uang jajan lebih nih. Hasil lomba pidato kemarin. Aku ingin mentraktir kamu. Syukur–syukur bisa menghilangkan dukamu atas kehilangan dita. Mau ya?
Aku pun merasakan adanya kejanggalan di perkataan-nya itu. Aku berpikir seperkian detik sebelum menemukan jawaban yang cocok untuknya, "Maksudmu apa? Oh.. Kamu senang dita meninggal?? Lalu, kamu merayakan kepergian dita dengan mentraktir aku, begitu? Kamu jahat, icha!
Aku benar–benar tak habis pikir dengan icha. dita itu sahabat terbaik dan sejatiku, tidak boleh ada yang memperlakukannya seperti itu. Sangat Menyebalkan!
Kok, kamu bicaranya seperti itu, sih? Sekalipun aku tidak pernah bahagia dengan kepergian dita. Itu tidak mungkin."Tukas icha dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku hanya tidak ingin melihatmu bersemedi dengan kesedihanmu itu. Aku ingin jadi teman baikmu.
Kamu tidak akan bisa menggantikan dita, icha!!" dan emosiku semakin meluap, "Aku sangat menyayangi dita, wajar kalau aku sangat sedih atas kepergiannya.
Tapi ini terlalu jauh, des. Kamu menjadi sangat berbeda. Akhir–akhir ini kamu begitu emosian, suka menyendiri, pembangkang, dan sangat tertutup. Kamu bukan dessy yang aku kenal dulu.
Terserah!Sebelum aku benar–benar pergi meninggalkan icha, aku sempat melirik sosis yang dia lahap begitu nikmatnya."Racun!!" Ucapku dengan tegas dan dalam. Aku melihat ekpresi wajah icha mendadak sangat khawatir. Aku pun berlalu setel ah membuatnya depresi berat.
Sepulang sekolah aku menunggu kereta di stasiun pocin, tepatnya di kawasan Depok Rumahku di depok. Sementara aku bersekolah di SMPN..deppok. Otomatis dengan begitu, aku harus menggunakan kereta untuk sampai ke rumahku.
Hueekk!!! Aroma khas dari keringat para penumpang KA merasuki hidungku, dengan sangat semangat saat aku masuk ke dalam kereta. Desak–desakkan penumpang membuat hatiku semakin kesal. Para pedagang pun menambah kebisingan. Ah.. izinkan aku untuk pingsan!!!
Kejengkelan hatiku semakin merajalela saat aku mengingat kembali perkataan icha tadi pagi disekolah.
Tapi ini sudah terlalu jauh, des. Kamu menjadi sangat berbeda. Akhir–akhir ini kamu begitu emosian, suka menyendiri, pembangkang, dan sangat tertutup. Kamu bukan desy yang aku kenal.
Ussshhh!!! Memangnya dia tahu apa tentang hidupku..?? Menyebalkan!! L uka hatiku saja belum sembuh benar atas kehilangan dita. Aku sangat trauma!! Dia adalah sahabat sejatiku, selalu bersamaku, kami berbagi suka dan duka.icha itu tidak tahu apa–apa. Seharusnya dia tak perlu ikut campur dengan urusanku!!
Memang benar, akhir–akhir ini sifatku begitu berubah, aku akui itu. Jujur, hidupku sangat hampa. Tak ada motivasi. Tak ada semangat. Bahkan aku tidak ingin berteman dengan siapapun. Aku tidak mau menyayangi siapapun lagi. Sudah cukup aku kehilangan dita, tidak lagi untuk yang kedua kalinya.
Jangan dekat dengan siapapun, jangan menyayangi siapapun, dan jangan percaya pada sahabat sejati!! karena sahabat sejati tidak pernah ada, dengan begitu kau tidak akan pernah menangis akan kehilangannya. Itulah prinsipku saat ini. Aku berusaha untuk membenci atau lebih tepatnya menjauhi siapapun saat ini. Egois dan bodoh memang. Rasa trauma sudah mendarah daging dalam diri dan jiwaku. Aku seperti kehilangan jati diri.
dita terima kasih telah mengajariku arti sahabat sejati, sebuah persahabatan yang abadi dan sesungguhnya dalam hidup ini.